PAPILLONNEWS.CO – Eks Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mempertanyakan apakah betul vaksin yang saat ini terus digalakkan Pemerintah bisa diberikan pada waktu pandemi berlangsung.
Pasalnya, menurut Siti Fadilah, virus hingga kini terus bermutasi, sementara mayoritas vaksin yang diberikan pada masyarakat menggunakan virus tahun 2019.
Menurutnya, mutasi virus hingga kini terus terjadi berulang kali. Dia berharap jangan sampai program vaksin hanya akan menjadi gerakan percuma.
“Kita pakai vaksin yang menggunakan virus Wuhan di 2019, padahal sekarang 2021 virus sudah berubah-ubah lagi. Kalau vaksinnya kompatibel oke, kalau tidak? Apakah kita mesti disuntik vaksin yang lain lagi? Itu persoalannya,” kata Siti Fadilah Supari terkait pandemi dalam bincang kolumnis Hersubeno Arief,, dikutip Senin 19 Juli 2021.
“Di tengah mutasi yang sedang berlangsung, sebaiknya tunggu sampai virus itu stabil dulu,” katanya.
Meski begitu, Siti Fadilah memang memaklumi langkah Pemerintah yang menyebut mereka hanya mengikuti kebijakan internasional soal pandemi. Di mana manusia wajib divaksin untuk membentuk kelompok herd community.
Sebenarnya, kata Siti Fadilah Supari, Indonesia seharusnya membuat vaksin sendiri yang sesuai dengan kondisi Tanah Air. Dengan begitu kompatibilitasnya akan lebih sesuai daripada menggunakan vaksin Sinovac yang notabene berasal dari Wuhan, China.
Sementara, saat ini publik banyak yang telah diserbu dengan varian lain seperti Delta dari India. Dia curiga, inilah yang membuat keampuhannya tidak terlihat.
“Kita disuntik dengan vaksin Wuhan, kemudian pada waktu vaksinasi berjalan dengan baik, justru tiba-tiba morbiditasnya tinggi, kasus covid melonjak gila-gilaan. Bahkan sampai tembus 50 ribuan.”
“Lalu causa pelonjakannya itu apa? Apa vaksin yang tidak cepat, apa vaksin rendah efikasi, atau bagaimana. Karena ini ada hubungannya dengan vaksinasi. Kalau mesti cepat, ya cepat. Kalau vaksin efikasinya rendah harus bagaimana dan sebagainya,” katanya.
Beberapa kesalahan yang dinilai tidak dibacanya secara cermati adalah pembacaan kasus secara scientifik serta berbasis data akurat. Ketidakcermatan inilah yang kemudian menyebabkan Indonesia, dinilai masuk sebagai negara dengan kasus nomor satu di dunia, melebihi India.