PT Pupuk Indonesia, salah satu perusahaan BUMN menjadi sorotan setelah anak usaha mereka PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) mengangkat eks narapidana kasus korupsi Emir Moeis sebagai komisaris.
Penunjukan Emir Moeis tersebut tercatat dalam website resmi PT Pupuk Iskandar Muda. Dalam laman tersebut, pihak perusahaan menyatakan pria bernama lengkap Izedrik Emir Moeis itu diangkat sebagai komisaris pada 18 Februari 2021 oleh pemegang saham.
Sebagai catatan, Emir Moeis saat masih menjadi anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PDIP terjerat kasus suap terkait lelang proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Lampung pada 2004.
Emir Moeis terbukti menerima suap senilai 357 ribu dolar AS dari Konsorsium Alstom Power Inc yang mendaftar jadi salah satu peserta lelang. Akibat perbuatannya, Emir Moeis divonis 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan penjara pada 2014.
Sejumlah politikus pun mengkritik penunjukan Emir Moeis itu. Juru Bicara DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Ariyo Bimmo menilai penunjukan Emie Moeis menandakan ada cacat integritas di BUMN.
“Predikat mantan koruptor adalah bukti otentik adanya cacat integritas, kenapa justru diangkat menjadi komisaris BUMN? Menurut kami, melihat rekam jejaknya, Emir Moeis tidak memenuhi syarat materiil menjadi calon Komisaris yang akan menjalankan fungsi pengawasan terhadap BUMN,” kata Bimmo dalam keterangan tertulis, Kamis (5/8/2021).
PSI melihat pencalonan mantan koruptor sebagai komisaris BUMN merupakan salah satu praktik impunitas terhadap kejahatan korupsi dan pelakunya. Efek jera yang selama ini didengungkan tidak akan pernah efektif selama mantan koruptor masih bisa menduduki jabatan publik.
“Apakah di negeri ini tidak ada orang baik dan berkualitas yang layak menjadi petinggi BUMN? Kenapa harus mantan koruptor? Saya kira, perlu ada klarifikasi, transparansi dan bila mungkin koreksi untuk masalah ini,” kata Bimmo.
Bimmo menambahkan, dari sisi manajemen berbasis risiko, terdapat kerawanan tinggi bila mantan koruptor diberi jabatan penting dalam BUMN. “Memberi posisi strategis kepada mantan koruptor di BUMN sama saja membuka peluang terjadinya korupsi yang lebih besar lagi. Ini sangat merugikan reputasi BUMN kita,” kata Bimmo.Q
“Tidak menunjukkan pemihakan pada aksi pemberantasan korupsi. Padahal ini jadi masalah besar bagi Indonesia. Perlu diselidiki dasar penunjukan, bisa jadi klientelisme karena bagian dari kelompok,” kata Mardani, Jumat (6/8/2021).
Mardani menilai, kasus Emir Moeis bisa menjadi upaya perbaikan pembenahan penunjukan komisaris di BUMN. Ia mengingatkan, penunjukan seperti kasus Emir bisa menjadi beban dan membuat BUMN tidak maju.
“Kita awasi dengan seksama semua penunjukan direksi dan komisaris BUMN agar terpilih mereka yang berintegritas dan profesional,” kata Mardani.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Bonyamin Saiman mengaku kecewa dengan penunjukan Emir sebagai komisaris. Ia mengingatkan posisi komisaris penting dalam perusahaan sehingga latar belakang orang yang mengisi kursi harus berlatar belakang bersih.
“Meskipun orangnya bisa jadi sudah bertaubat, bisa kemudin orangnya menjadi baik, tapi tetap orang menengok latar belakangnya,” kata Bonyamin, Jumat (6/8/2021). Ia menambahkan, “Jadi ini harapan bahwa nanti BUMN akan bersih korupsi akan susah ketika komisarisnya ini adalah orang yang mantan napi korupsi.”
Bonyamin mengakui bahwa Peraturan Menteri BUMN 2/2015 maupun 10/2020 membolehkan eks napi korupsi untuk menjadi komisaris bila sudah 5 tahun setelah masa pidana berakhir. Akan tetapi, konsideran mengamanatkan pencarian komisaris yang berintegritas dan berdedikasi. Hal tersebut berbanding terbalik dengan orang yang pernah korupsi.
Selain itu, ia mengingatkan pejabat BUMN langsung diberhentikan jika korupsi. Dengan demikian, integritas dan kepatutan sudah sangat ketat. Emir Moeis seharusnya tidak bisa dipilih karena pernah terbukti korupsi.
“Yang paling utama adalah nyari orang lain, kan masih banyak loh orang yang berintegritas yang tidak pernah korupsi,” kata Bonyamin.
“Kenapa? Karena meskipun seorang eks terpidana artinya sudah selesai menjalani pidananya, tetapi kan itu menjadi catatan yang tidak pernah bisa dihapus bahwa yang bersangkutan pernah menjalani pidana,” kata Zaenur, Jumat (6/8/2021).
Zaenur menekankan, jabatan komisaris penting dalam perusahaan. Ia mengatakan komisaris mengawasi kinerja perusahaan. Tugas tersebut tidaklah pas bila diberikan kepada eks napi korupsi yang pernah melanggar janjinya sebagai pejabat negara.
“Korupsi itu termasuk menciderai kepercayaan. Berbeda dengan tindak pidana lain sehingga menurut saya tidak tepat jika seorang eks terpidana korupsi itu dijadikan sebagai komisaris ataupun direksi eks BUMN,” kata Zaenur.
Zaenur pun menilai seharusnya Kementerian BUMN bisa mencari pejabat yang berintegritas dengan tidak ada rekam jejak buruk termasuk korupsi dan cakap sesuai bidangnya untuk menjadi komisaris. Ia justru melihat pemilihan Emir lebih pada alasan politik karena ia adalah kader partai penguasa, yakni PDIP.
“Saya melihat alasan [pengangkatan] Emir Moeis ini tidak ada urgensinya, kenapa? Dia harus dipilih selain memang saya melihat itu lebih pada faktor politik dari penguasa yang saat ini menjabat sehingga itu lebih ke arah faktor itu daripada profesionalitas,” kata Zaenur.