Melki Laka Lena” dan Komitmen Bangun NTT

oleh -357 Dilihat
oleh

Oleh: Sil Joni

Dari gubernur ke gubernur, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tetap miskin. Emanuel Melkiades Laka Lena sangat tahu dan sadar akan kondisi miris itu. Berangkat dari kesadaran dan pengetahuan yang jernih semacam itu, dirinya bertekad untuk ‘mengubah’ wajah politik NTT yang kusam itu. Kehendak yang kuat itu, tidak hanya bersemayam dalam dunia impian, tetapi coba diterjemahkan secara kreatif melalui jalur politik kekuasaan.

Dalam usia yang relatif muda, pada tahun 2013 yang lalu, Melki mulai mewujudkan komitmennya untuk ‘bangun NTT’ ke arah yang lebih baik. Beliau maju dalam kontestasi pemilihan gubernur (Pilgub) sebagai calon wakil Gubernur berpasangan dengan Ibrahim Medah. Mereka diusung oleh partai Golkar, salah satu partai besar di tanah air. Sayang, duet ini belum mendapat ‘restu politik’ dari publik. Tetapi, kekalahan itu tak membuat ‘nyali politiknya ciut’. Justru pengalaman kalah itu menjadi semacam ‘investasi politik’ yang bagus bagi dirinya untuk terus mengabdi dalam domain politik.

Melki terus mengasah kapasitas politiknya bersama partai Golkar sebagai ‘mata air ideologi perjuangan’. Pada tahun 2014, dirinya coba ikut dalam pemilihan legislatif (Pileg) melalui partai Golkar dari daerah pemilihan (Dapil) NTT 1. Lagi-lagi, Melki belum meraup suara signifikan untuk ‘bergiat di Senayan’. Kekalahan itu, tentu saja bukan isyarat kiamat. Melki justru bertambah semangat dan semakin aktif memperjuangkan kepentingan warga NTT baik melalui partai Golkar maupun melalui Yayasan miliknya, ‘Yayasan Tunas Muda Indonesia (YTMI)’.

Pasca Pileg 2014, Melki melalui YTMI menggelar sayembara yang bertajuk “Ayo Bangun NTT”. Sayembara itu terbuka untuk semua kalangan yang memiliki rasa cinta terhadap NTT. Event itu, boleh dipatok sebagai salah satu bukti ‘keseriusan’ Melki dalam menata tubuh politik NTT. Dirinya tak pernah kehilangan kreasi dan inspirasi dalam membangun NTT meski belum masuk dalam jalur politik kekuasaan.

Karier politiknya terus menanjak. Melki berhasil memegang jabatan politik prestisius, ketua Golkar Propinsi NTT. Jabatan itu membuat jaringan politiknya kian lebar dan dalam. Dirinya semakin populer di tengah masyarakat, khususnya di Dapil NTT 2. Tidak heran jika dalam kontestasi Pileg tahun 2019, untuk pertama kalinya, Melki berkarya di Senayan sebagai anggota DPR-RI.

Politik sebagai Panggilan
Dari jejak dan debut karier yang menawan dalam gelanggang politik baik lokal maupun nasional, rasanya tidak berlebihan jika ‘politik merupakan panggilan bagi Melki’ untuk mengabdi kepada sesama. Saya kira, perannya sebagai anggota DPR RI dan bahkan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI saat ini, bisa dilihat sebagai ‘manifestasi dari panggilan’ itu. Dari pemberitaan media, Melki adalah anggota DPR RI dari NTT yang paling sering dan paling lama berada di tengah dan membaur dengan masyarakat melalui kunjungan-kunjungannya. Hampir tiap akhir pekan Melki berjumpa dengan konstituennya di daratan Timor, Sumba, Rote dan Sabu.

Apakah bang Melki ‘terpanggil’ untuk menjadi Gubernur NTT periode 2024-2029? Sangat bergantung pada ‘kesadaran’ publik NTT dalam menentukan figur yang pas dalam kontestasi Pilgub yang tahapannya sedang berlangsung saat ini. Melki sudah memperlihatkan kebajikan dan kualitas dirinya sebagai seorang ‘pemimpin yang berbakat’. Debut politik, kepedulian, keberpihakan, kemampuannya, kecakapan etis dan teknisnya adalah garansi sekaligus modal sosial bagi Melki untuk menjadi kampium kontestasi.

Hemat saya, Melki maju dalam kontestasi Pilgub kali ini, bukan semata-mata karena melaksanakan keputusan Musda Golkar pada tahun 2023. Pun bukan hanya karena ‘diperintahkan’ oleh pengurus Golkar di Pusat. Tetapi, niat itu berangkat dari ‘kemauan baik (good will) untuk ‘menolong sama saudaranya di NTT keluar dari aneka kubangan derita politik.

Sebelum maju dalam Pilgub ini, Melki lagi-lagi memanen kerja politiknya selama ini dengan terpilih kembali sebagai anggota DPR-RI. Namun, rupanya ‘Senayan’ terlalu jauh untuk membaktikan hidup sepenuhnya bagi perbaikan kondisi politik NTT. Karena itu, Melki rela ‘turun gunung’, keluar dari zona nyaman sebagai anggota DPR-RI.

Mengubah NTT tidak cukup hanya ‘berteriak’ di parlemen, tetapi mesti ‘berjalan bersama dan merasakan secara langsung derita warga. Empati dan bela rasa itu, hanya mungkin dilakukan oleh pemimpin bertipe gembala, bukan tukang kritik. Ideal ini tentu saja senada dengan prinsip bang Melki yang melihat politik sebagai ‘panggilan’ melayani masyarakat. Orientasi menjadi Gubernur, dengan demikian bukan untuk mengejar jabatan (prestise), mengakumulasi kapital dan menindas masyarakat, tetapi ‘membebaskan’ sesama dari kepungan situasi politik yang negatif.

Pilgub 2024 mesti menjadi momentum bagi publik NTT untuk ‘mengangkat’ pemimpin yang berhati melayani. Rasanya, ada sejumlah kualifikasi esensial yang dimiliki bang Melki untuk dijadikan pertimbangan bagi publik dalam menjatuhkan preferensi politik. Melki, tidak diragukan lagi merupakan salah satu figur yang layak ‘dipilih’ untuk mengemban tugas sebagai ‘Gubernur NTT’. Pertama, Melki merupakan ‘politisi’ muda dan energik yang ‘telah kenyang dan matang’ dalam pelbagai proses dan dinamika politik. Karier politiknya nyaris tanpa cacat. Sosok ini punya performans yang baik. Kiprah, kerja dan perjuangannya sebagai anggota DPR RI bagi masyarakat NTT juga jelas terlihat. Komitmen politiknya sudah ‘sangat teruji’.

Kedua, bang Melki ‘berkarya’ cukup lama di Golkar. Siapa pun tahu bahwa Golkar merupakan salah satu ‘partai besar’ di Indonesia. Apalagi saat ini dirinya sebagai Ketua DPD I Golkar NTT dan Wakil Ketua Komisi IX DPR-RI. Kerja-kerja politik praktis termasuk bagaimana cara ‘merayu Jakarta’ untuk menggelontorkan dana pembangunan yang fantastis ke NTT, tentu menjadi makan minum bang Melki.

Ketiga, jangan lupa bahwa dengan posisinya sebagai Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, bang Melki tentu saja punya ‘koneksi’ yang kuat dengan Pusat. Itu berarti Melki punya posisi tawar sangat baik jika menjadi Gubernur NTT. Posisi tawar yang bagus ini sangat dibutuhkan untuk mengeksekusi program-program pembangunan ke NTT. Program-program dan proyek-proyek pemerintah pusat dapat dengan mudah masuk ke NTT jika dan hanya jika gubernur punya relasi kuat, jaringan luas dan partainya ada di lingkaran kekuasaan.

Keempat, bang Melki adalah pribadi yang kreatif dan berjiwa wirausaha. Melki sadar betul bahwa ‘bangun NTT itu tidak cukup hanya mengandalkan kemurahan Jakarta’. Melki tahu bagaimana cara dan strategi untuk mendapatkan ‘modal lain’ yang bersumber dari pontensi sumber daya yang ada di bumi NTT itu sendiri. Melki pernah berujar begini: “Kalau jadi Gubernur NTT hanya untuk menambah CV (curiculum vitae/riwayat hidup), itu tidak. Saya ingin memastikan dulu apa yang bisa kita lakukan untuk NTT di luar dana APBN. Kita mesti melakukan sesuatu yang berguna untuk NTT. “

Kelima, bang Melki relatif ‘sudah selesai’ dengan urusan perut. Politik baginya tidak lagi menjadi instrumen ‘merampok uang publik secara legal’ demi memuaskan keinginan daging, tetapi sarana ‘mengalirkan berkat dan kasih’ kepada sesama. Hati dan pikirannya benar-benar ‘total’ mengurus perbaikan sisi kebaikan publik di NTT.

Melampaui Isu Primordial
Gong kontestasi Pilgub NTT sudah ditabuh. Bang Melki ‘sudah siap’ bertarung dan yang lebih penting lagi siap mengemban amanat luhur sebagai ‘gembala politik’ di NTT. Aneka ‘isi kepalanya (produk politik)’ telah dipasarkan ke panggung politik. Harapannya, publik tidak lagi menjadikan isu primordial seperti suku, agama, keluarga dan profesi sebagai bahan pertimbangan dalam memilih pemimpin.

Rekam jejak, gagasan politik dan kualitas politik calon mesti dijadikan basis utama dalam menentukan pilihan. Bang Melki telah ‘membentangkan’ semua elemen substansial itu kepada publik. Apa respons kita sekarang?

Rasanya, tak perlu bimbang dan ragu untuk menempatkan bang Melki sebagai ‘kandidat favorit’. Untuk sementara, hasil survei yang dirilis oleh beberapa lembaga kredibel, bang Melki masih unggul. Data itu menunjukkan bahwa sosok ini memang relatif diterima dan diakui kapasitasnya dalam ‘memimpin publik NTT’ menuju Kanaan kebahagiaan publik yang diidamkan bersama itu.

Panji ‘ideologi kuning (Golkar)’ telah lama berkibar dalam diri bang Melki. Harapannya, dengan bendera kuning itu, NTT dibawah kepemimpinan Melki (jika terpilih) bisa menghadirkan dimensi perubahan yang signifikan bagi rumah politik NTT. “Mengabdi lewat kinerja” adalah motto politik bang Melki. Pengabdian lewat kinerja yang bagus telah ditorehkan bang Melki selama ini. Tentu, pengabdian itu menjadi lebih sempurna ketika dirinya tampil sebagai ‘gubernur model’ dari Timur Indonesia. Semoga. **

Penulis adalah warga NTT. Tinggal di Watu Langkas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *